oleh rani, irlen, rizki, fristy, nia
PEMBAHASAN
Biografi Al-Farabi
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی ) atau Al-Farabi merupakan ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Ia lahir di Wasij, distrik Farab (sekarang kota Atrar/Transoxiana) Turkistan pada tahun 257 H, pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid. Nama aslinya adalah Abu Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh.
Ia juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir.
Kemungkinan lain adalah Farabi merupakan seorang Syi’ah Imamiyah (Syiah Imamiyah adalah salah satu aliran dalam islam dimana yang menjadi dasar aqidah mereka adalah soal Imam) yang berasal dari Turki.
Kehidupan dan Pembelajaran
Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf Ad-Daulah Al-Hamdani, kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah) berangka tahun (946-974 M). Pemerintahan tersebut menganut sistem pemerintahan Monarki. Pada saat itu merupakan suatu periode paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Maka oleh sebab itu, Al-Farabi menjadi gemar berkhalwat, menyendiri, dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal (Negara Utama).
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.
Julukan “guru kedua” diberikan pada al-Farabi karena dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato. Melalui karya al-Farabi berjudul al-Ibānah ‘an Ghardh Aristhū fī Kitāb Mā Ba’da
al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang khusus menjelaskan maksud
dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.
al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang khusus menjelaskan maksud
dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.
Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.
Buah Pemikiran
Karya
Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al- Farabi dapat ditinjau menjdi 6 bagian
- Logika
- Ilmu-ilmu Matematika atau Propaedetik (Ulum al-Ta’alim)
- Ilmu Alam
- Teologi
- Ilmu Politik dan kenegaraan
- Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).
Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah Islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
Pemikiran Al-Farabi tentang Emanasi Intelektual dan Evolusi Fisik-Material
Dalam penciptaan alam menurut Al-Farabi, Tuhan tidak mencipta alam, akan tetapi Ia sebagai penggerak pertama dari segala yang ada. Singkatnya, Tuhan mencipta sesuatu dari yang sudah ada dengan cara pancaran atau Emanasi. Maka, dunia ini bersifat azali tanpa permulaan dan bukan ciptaan. Ini terjadi karena proses emanasi.
Dalam filsafat emanasi, al-Farabi mengatakan kalau Tuhan Pencipta alam semesta berhubungan langsung dengan ciptaan-Nya, yang tak dapat dihitung banyaknya itu. Di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak, zat yang di dalam diri-Nya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa.
Yang Maha Esa berfikir tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan diri-Nya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang diri-Nya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan diri-Nya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang diri-Nya sendiri menghasilkan Alam dan Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah gambaran berikut:
Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok : air, udara, api dan tanah.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah malaikat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam filsafat emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut paham emanasi.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, Al-Farabi mengemukakan dalil wajib al-awwal dan mumkin al-wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga. Wajib al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah yang disebut Tuhan. Adapun mumkin al wujud ialah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al-wujud tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi wajib al-wujud. Walaupun demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) karena rangkaian sebab akibat itu akan berakhir pada wajib al-wujud.
Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
Karena Tuhan befikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik al-Ghazali
Pemikiran al-Farabi tentang kenabian
. Teori mimpi menurut Aristoteles dan pengaruhnya di dalam teori kenabian al-Farabi
. Teori mimpi menurut Aristoteles dan pengaruhnya di dalam teori kenabian al-Farabi
Mimpi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Meski mimpi termasuk pengalaman pribadi, namun merupakan fenomena universal yang memainkan peranan penting dalam pembentukan kebudayaan manusia. Mimpi merupakan suatu hal yang tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Baik manusia dalam bentuk kecil (anak-anak) atau dewasa, pejabat atau rakyat jelata, semuanya pernah mengalami mimpi. Karena mimpi tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka ia mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan ini. Ada pengaruh positif,namun juga tidak sedikit pengaruh negatifnya. Sepanjang catatan sejarah kebudayaan manusia, mimpi dan penafsirannya telah mengilhami orang-orang suci dan para Nabi, penyair serta raja-raja, maupun para filsuf dan psikolog.
Dalam perjalanannya, pembahasan mimpi tidaklah didominasi oleh satu kelompok ataupun satu bidang disiplin ilmu saja. Tetapi meluas ke berbagai bidang disiplin ilmu, misalnya filsafat, psikologi, agama, dan lain-lain. Hal ini menandakan bahwa tema mimpi memang merupakan tema yang menarik dan selalu aktual untuk dijadikan bahan kajian. Karena tentunya, banyak orang dengan segala jenis kelompok usia dan golongan lapisan sosialnya hingga saat ini masih mengalami mimpi.
Aristoteles berpendapat bahwa proses inderawi menimbulkan berbagai pengaruh yang tetap bertahan pada alat indera eksternal. Lalu, pengaruh itu pindah ke pusat indera bagian dalam yang terletak di hati dengan perantara darah, sehingga menyebabkan terjadinya fantasi dan mimpi. tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari tuhan, dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan masa depan.
Pendapat Al Farabi berbeda dengan pendapat Aristoteles dan menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, tapi hal ini hanya bagi pribadi-pribadi pilihan. Intelegensi agen adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan. Hal itu serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran islam. Kemampuan berhubungan dengan intelengensi agen terdapat pada nabi dan filosof, kalau nabi dengan imajinasinya sedang filosof dengan spekulasi dan perenungan. Dapat dimengerti bahwa keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan dari atas.
Selain wahyu, impian juga merupakan alat perhubungan dengan Tuhan, karena jiwa yang suci pada waktu tengah tidur naik kealam gaib, dan disana ia melihat rahasia-rahasianya. Nabi saw mulai dakwahnya telah melihat impian-impian, sebagai tanda akan dimulainya tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Begitu penting kedudukan impian, sehingga ada surat di dalam al-Qur’an dimana seluruh pembicaraannya berkisar sekitar impian, yaitu surat Yusuf. Nabi Muhammad saw juga mengatakan tentang impian, impian yang benar merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian.
Persoalaan kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutannya bisa ditafsirkan pula. Sebagaimana dimaklumi, ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur atau pada waktu jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama, walaupun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat pula menerangkan yang lain.
Al-Farabi menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas perbuatan-perbuatan diwaktu berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya dalam berbagai bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian penyerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi suatu potensi kreatif yang mampu menciptakan, mewujudkan, serta mengilustrasikan dan membentuk. Imajinasi mempunyai kemampuan besar untuk menirukan dan daya mempengaruhi, maka semua kondisi anggota tubuh, psikologis, bahkan penyerapan dari orang yang sedang tidur mempunyai pengaruh yang jelas di dalam imajinasinya kemudian di dalam pembentukan mimpinya. Antara yang satu dengan yang lain mimpi tidak berbeda kecuali karena perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Mimpi sedang berenang, misalnya, maka sekejab hubungan kita dengan air itu basah.
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi. Imajinasi menempati posisi penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecendrungan-kecendrungan dan perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakan-tindakan rasional dan gerakan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan merupakan sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia dapat membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar dikala tidur atau wahyu dikala jaga. Perbedaannya haya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian.
Manfaat teori ini terhadap Nabi dan Filosof
Dalam suasana penuh perdebatan tentang kenabian muncullah al Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain hampi tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam
filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat
hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak pada waktu membicarakan negeri
utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al
aql al fa’āl, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.
filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat
hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak pada waktu membicarakan negeri
utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al
aql al fa’āl, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.
Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua jalan, yaitu : jalan fikiran dan jalan imajinasi penghayalan), atau dengan perkataan lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Sudah barang tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al aql al fa’āl. Melainkan hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
Hakikat kenabian dan hakikat filosofis, sama-sama sebagai satu dari sekian konklusi wahyu dan sebagai satu dari sekian pengaruh pancaran ilahi kepada manusia melalui jalur imajinasi atau analisa. Hanya saja al-Farabi membedakan antara seorang nabi dengan seorang filosof dalam buku Aro’ ahl al Madinah al-Fadlilah dilihat dari segi saran-sarana yang dipergunakan untuk mencapai pengetahuan, maka di tempat lain ia menetapkan bahwa nabi – seperti filosof – dimungkinkan mikraj kea lam-alam atas dengan perantara akal. Karena ia memiliki potensi fikiran yang suci yang dimungkinkan untuk naik ke alam cahaya dimana ia menerima perintah-perintah Tuhan, sebab nabi mencapai wahyu tidak hanya melalui jalur imajinasi semata, tapi juga dengan potensi akal yang besar yang ada pada dirinya.
Kenabian adalah Fitri bukan Muktasabah
Dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang Nabi adalah seorang yang di anugerahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan dan di beri kemampuan untuk menyatakan kehendaknya. Adalah sangat perlu bagi filosof-folosof muslim memberikan penghormatan kepada kenabian, merujukkan rasionalitas dengan tradisionalisme, dan mewarnai bahasa-bahasa bumi dengan firman Tuhan. Hal ini telah di upayakan oleh al Farabi. Teorinya tentang kenabian dapatlah dianggap sebagai usaha yang paling berarti dalam merujukkan agama dan filsafat.
Jika nabi mampu untuk berhubungan dengan akal faal melalui perantaraan penalaran dan analisa, maka kenabian menjadi bentuk pengetahuan yang juga bisa dicapai oleh manusia. Karena dengan pengaruh akal faal kita mengkaji, berfikir dan mempersepsi realitas-realitas yang umum. Tetapi dengan graduasi pengaruh akal faal di dalam diri kita, maka tingkatan kita berbeda-beda yang satu melebihi yang lain.
Kenabian bersifat pembawaan (fitri) bukan merupakan hasil pencarian(muktasabah). Semua usaha yang ada pada kasab (pencarian), semakin menambah nabi menjadi sempurna dan meningkat. Jika seseorang bisa meraih hubungan dengan alam atas, maka sempurnalah di atas tangannya segala mu’jizat dan karomah sebagai kelebihan yang menyalahi kebiasaan. Persoalan ini, walaupun rahasianya tidak diketahui, bisa diketahui melalui jalur psikologis-spiritual.
Pemikiran al-Farabi tentang jiwa
Filsafat Plato , Aristoteles serta Plotinus, mempengaruhi Al-Farabi tentang jiwa. Jiwa menurut Al-Farabi bersifat Rohani, ia terwujud setelah adanya badan, dan ia tidak bisa berpindah-pindah dari badan kebadan yang lain.
Jiwa manusia sebagaimana halnya materi asal memancar dari Akal 10. kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident , artinya antara keduanya mempunyai substanasi yang berbeda, dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa.
Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi sementara jasad berasal dari alam khalq, berbentuk,berupa, berkadar dan bergerak. jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Jiwa manusia mempunyai daya-daya, diantaranya sebagai berikut :
- Daya gerak (montion ), yakni :
a. Makan
b. Memelihara
c. Berkembang
- Daya mengetahui ( cognition ), yakni :
a. Merasa
b. Imaginasi
- Daya berfikir (intelloection ), yakni :
a. Akal praktis
b. Akal teoritis
Daya teoritis terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu :
- Akal Potensial ( material intellect ) baru mempunyai potensi berpikir dalam arti : melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
- Akal Aktual ( actuall intellect ) telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk actual.
- Akal Mustafad ( acquired intellect ) telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal 10.
Pemikiran Al-Farabi Tentang Ilmu Pengetahuan
Al-Farabi menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1890 Dieterici menerjemahkan beberapa risalah pendek al-Farabi, umumnya yang berkaitan dengan sains. Bukunya yang merupakan sumbangan terhadap sosiologi adalah Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah yang kemudian diedit dan diterjemahkan oleh Dieterici sebagai Philosophia de Araber dan Der Mustarstaat Von Al-Farabi. Buku penting lain yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Barat adalah Musiqi al-Kabir dan Ihsa al-Ulum, sebuah karya ensiklopedis yang kemudian banyak berpengaruh atas penulis Barat.
Bukunya Ihsa al-Ulum merupakan encyclopedia mengenai ilmu akhlak yang terbagi atas lima bagian: 1. bahasa, 2. ilmu hitung, 3. logika, 4. ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan 5. politik dan sosial ekonomi (sosio ekonomi). Para ahli fikir mutakhir mengakui, bahwa mereka berhutang budi kepada al-Farabi atas segala yang telah mereka capai di bidang ilmu pengetahuan. Dalam mengambil sesuatu bahan ilmiah dari asalnya al-Farabi memakai jalan peng-alasan yang sangat teliti yang berdasarkan dialektika. Dan ini dilakukan dengan meletakkan qaedah-qaedah umum lalu daripadanya diambil alasan yang diperlukan. Pendapat al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi al-Farabi tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal. Menurut al-Farabi alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya al-Farabi percaya pula akan adanya hidup setelah mati; yang menjadi hari pengadilan bagi manusia, yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat al-Farabi ini adalah bawaan dari al-Qur’an dan Hadits. Maka bagi al-Farabi logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma’rifat, tetapi ia adalah alat pencapai ma’rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, tetapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu.
A. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Al-farabi telah memberikan klasifikasi tentang ilmu pengetahuan dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu.
Ilmu pengetahuan tentang percakapan, yang dikenal sebagai ilmu al-lisan, dibaginya pula atas tujuh bagian, yaitu: bahasa gramatika, syntax (ilmu tarkib al-kalam), syair, menulis dan membaca. Aturan ilmu bahasa yang melingkupi ketujuh pembagian ini, merupakan tujuh bagian pula, yaitu: ilmu kalimat mufrad, ilmu kalimat yang dihubungkan oleh harf el-jar (proposition), undang-undang tentang penulisan yang benar, undang-undang tentang pembacaan yang betul, dan aturan tentang syair yang baik.
Ilmu logika, diajarkan kepada tingkatan tinggi, bagi orang-orang yang hendak menyediakan dirinya menjadi sarjana. Oleh karena itu, ilmu logika itu lebih dipandang bersifat seni daripada sifatnya sebagai ilmu. Ilmu atau seni logika pada umumnya terdiri sebagai berikut: “Supaya dapat mengoreksi fikiran seseorang, untuk mendapatkan kebenaran”. Logika itu dibagi dalam delapan bagian, dimulainya dengan Catagory dan disudahi dengan syair (poetry).
Orang Arab juga memasukkan ilmu balaghah (rothorika) dan syair menjadi bagian dari ilmu logika. Kemudian setelah diselidiki, ternyata bahwa itu termasuk dalam bagian mantik, maka sekarang ini pembagian ilmu logika menjadi sembilan fasal.
Tentang matematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh bagian, yaitu: arithmatika, geometri, optika, astronomi, musik, hisabaqi (Latin: arte ponderum), dan mekanika.
Metaphysika, ditujukan pada dua jenis pelajaran. Pertama, pengetahuan tentang makhluk dan kedua, contoh-contoh dasar atau filsafat ilmu. Tentang ilmu makhluk, dikatakannya sebagai ilmu yang mempelajari dasar-dasar makhluk yang tidak didasarkan kepada bentuk jasmani atau benda-benda berupa tubuh.
Politik, dikatakannya juga sebagai ilmu sipil, yang menjurus kepada etika dan politika. Filsuf-filusuf Islam, menyalin perkataan Politeia dari bahasa Yunani, dengan perkataan Madani. Arti perkataan ini adalah sipil yang berhubungan dengan kota.
Ilmu agama, dibaginya kepada fikih (Yurisprudence) dan kalam (theology). Ilmu kalam ada dua cabangnya yang kemudian dimasukkan menjadi ilmu agama, adalah pengetahuan baru yang dimasukkan ke dalam Islam.
B. Hukum Mempelajari Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Islam mengharuskan setiap pemeluknya untuk berusaha menjadi ilmuwan dalam bidang tertentu sejauh yang dapat mereka capai dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi mereka menemukan sejarah tokoh-tokoh agama, salah satunya adalah al-Farabi yang telah berhasil membuka jalan kepada kunci ilmu pengetahuan, di mana manusia memperoleh keberkahan dan manfaat yang tak ternilai harganya.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”.
Wahyu pertama yang diterima Nabi dari Allah mengandung perintah, “Bacalah dengan nama Allah”. Perintah ini mewajibkan orang untuk membaca. Artinya pengetahuan harus dicari dan diperoleh demi Allah. Allah tidak saja berada pada awal pengetahuan, Ia juga berada pada akhirnya, menyertai dan memberkati keseluruhan proses belajar. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah alim, yang berarti “Yang memiliki pengetahuan”. Oleh sebab itu, memiliki pengetahuan merupakan suatu sifat ilahi dan mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi yang beriman. Apabila orang-orang yang beriman diwajibkan mewujudkan sifat-sifat Allah dalam keberadaan mereka sendiri, seperti dikatakan oleh sebuah hadis, maka menjadi suatu keharusan bagi semua orang yang percaya akan Allah sebagai sumber segala sesuatu yang ada, untuk mencari dan menyerap dalam wujud mereka sebanyak mungkin sifat-sifat Allah, termasuk dengan sendirinya pengetahuan, sehingga wawasan tentang Yang Kudus menjadi darah daging kehidupan mereka. Sudah jelas, bahwa tidak semua sifat Allah dapat diserap oleh manusia mengingat kodratnya yang tak terbatas dan tak terhingga, tapi setiap manusia pasti dapat memiliki sifat-sifat ilahi sebanyak yang diperlukan untuk pemenuhan dan perealisasian dirinya sendiri. Dan pengetahuanlah yang membedakan manusia dari malaikat dan dari semua makhluk lainnya, dan melalui pengetahuanlah kita dapat mencapai kebenaran.
Pemikiran Al-Farabi Tentang Moral
Konsep moral yang ditawarkan al-farabi dan menjadi salah satu hal penting dalam karya-karyanya, berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik. Dalam buku risalah fi al-tahbih ‘ala subul al-sa’adah dan tahshil al-sa’adah, al-farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni (1) keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengatahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan kontemplasi, penelitian, dan melalui belajar dan mengajar. (2) keutamaan pemikiran, yaitu yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalam hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan jenis ini dengan keutamaan pemikiran budaya (fadha’il fikriyyah madaniyyah). (3) keutamaan akhlak, yaitu bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran. Kedua jenis keutamaan tersebut, terjadi dengan tabatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak menusia. (4) keutamaan alamiah, diperoleh dengan dua cara, yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang. Cara lain adalah pemaksaan.
Selain keutamaan diatas, al-farabi menyarankan agar bertindak tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan fisik, atau mengambil posisi tengah-tengah. Hal itu dapat ditentukan dengan memperhatikan zaman, tempat, dan orang yang melakukan hal itu serta tujuan yang dicapai, cara yang digunakan dan kerja yang memenuhi semua cara tersebut. Berani misalnya, adalah sifat terpuji yang terletak diantara dua sifat tercela, membabi buta (tahwwur) dan penakut (jubn). Kemurahan (al-karam) terletak antara dua sifat tercela, kikir dan boros (tabdzir). Memelihara kehormatan diri (iffah) terletak antara dua sifat tercela, keberandalan (khala’ah) dan tidak ada rasa kenikmatan.
Pemikiran Al-Farabi Tentang Kebahagiaan
Kebahagiaan sejati manusia tercapai dengan cara mengambil bagian sifat akal aktual yang immaterial, dan semakin besar partisipasi keutamaannya dalam kehidupan ini, semakin besar kemungkinan jiwanya untuk memperoleh kondisi immaterialitas yang merupakan tanda kebahagiaan yang terakhir. Kebahagiaan, yang telah ditentukan untuk dinikmati jiwa pada kehidupan yang akan datang, tidaklah serupa bentuknya dan juga tidak definitif, melainkan seperti apa yang dilukiskan samar-samar oleh eskatologi keagamaan. Karena sifat setiap jiwa tergantung kepada tubuh yang merupakan tempat tinggal sementara, maka jelaslah bahwa tubuh-tubuh itu berbeda temperamen dan susunannya. Karena itu nasib jiwa sangat tergantung kepada kondisi tubuh dengan mana ia bergaul selama karir duniawinya, demikian juga porsi kebahagiaan dan kesengsaraannya.
Penderitaan hidup yang akan datang, di pihak lain, mengandung arti tekanan atau siksaan yang menyertai rasa sakit yang tidak ada akhirnya karena kerinduannya kepada kesenangan-kesenangan jasmani akan menimpa jiwa yang tidak patuh. Sebab sekalipun mereka mengambil bagian keutamaan teoritis, namun di jiwa-jiwa ini terseret kedalam oleh kesukaan materil, yang menghalangi mereka untuk menjalankan profesi intelektual mereka. Dan sekarang dalam keadaan hidup tanpa wujud, mereka terus menerus akan menderita keinginan-keinginan yang telah dipenuhi oleh kesenangan-kesenangan indriawi ketika mereka bersatu dengan tubuh, dan penderitaan mereka akan bertambah ketika mereka digabungkan oleh kelompok jiwa yang tidak patuh yang meninggalkan dunia ini. Untuk itulah kata Al-Farabi diperlukan pengetahuan tentang kebahagiaan sejati sebagai prasyarat memperoleh kebahagiaan abadi, dan juga sebagai prasyarat kelangsungan hidup yang nyata setelah mati.
Pemikiran Al-Farabi Tentang Mimpi dan Sebab-sebabnya
Sesungguhnya daya fantasi berada di tengah-tengah antara indera dan logika, serta berfungsi melayani keduanya sebagaimana daya fantasi juga melayani daya hasrat.
Ketika aktivitas daya indera, daya rasional dan daya hasrat terhenti pada saat tidur serta daya fantasi tidak lagi melayani daya rasional dan daya hasrat, maka daya fantasi tertuju ke sketsa-sketsa inderawi yang tersimpan di dalamnya, sehingga ia memisahkan.
Daya fantasi menyusun dan memisahkan sketsa-sketsa inderawi satu sama lain. Selain dua fungsi tersebut, daya fantasi juga memiliki fungsi penting ketiga, yaitu peniruan. Daya fantasi melakukan peniruan dengan menyusun sketsa inderawi yang tersimpan di dalamnya sesuai dengan pengaruh yang ia alami pada saat tidur. Al-Farabi menyebutkan tentang fungsi penting mimpi, yaitu mengurangi dorongan hasrat.
KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad al-Farabi merupakan salah satu tokoh filosof muslim yang banyak dikenal di dunia Barat dengan sebutan al-Parabius atau guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru pertama. Banyak pemikiran-pemikiran al-Farabi yang diambil dari Aristoteles, akan tetapi al-Farabi tidak hanya menerima begitu saja. Beliau dalam menelaah pemikiran Aristoteles selalu dihubungkan dengan al-Qur’an dan Hadist.
Seperti pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa dunia ini kekal, tetapi menurut al-Farabi dunia ini tidak akan selamanya kekal. Karena al-Farabi masih mempercayai akan adanya hari kiamat, maka beliau berpendapat bahwa dunia ini tidak akan kekal selamanya. Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu pengetahuan ke dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence).
Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu. Al-Farabi juga berpendapat bahwa mempelajari ilmu pengetahuan itu wajib hukumnya. Akan tetapi dalam perkembangannya kajian tentang ilmu pengetahuan dalam Islam semakin rendah, mereka lebih suka mengkaji ilmu fiqh dari pada ilmu pengetahuan. Pada hal semua ilmu pada hakikatnya itu sama kecuali ilmu-ilmu yang dilarang oleh Allah untuk dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim,Syah. Filsafat Islam, 1999. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Wikipedia. 2010. Alfarabi. Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi
Ruangbacas. 2010. Konsep Pemikiran Al-Farabi. Dari www.ruangbacas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar